Posted on / by / in Opini

Restorasi Virtue Jenderal Sudirman

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan monumen Panglima Besar Jenderal Sudirman di Pacitan pada 15 Desember 2008. Momen tersebut adalah suatu bentuk penghormatan terhadap kepahlawanan Jenderal Soedirman. Penghormatan terhadap Jenderal Soedirman suatu hal penting namun jauh lebih penting merestorasi virtue (keteladanan) – nya. Keteladanan seorang Jenderal Soedirman memiliki kaitan erat dengan momentum pemilihan presiden 2009 yang secara khusus meletakan virtue seorang kesatria dalam ranah politik. Munculnya nama-nama purnawiran TNI seperti Prabowo Subianto, Sutiyoso, Kiev Lan Zein, M. Yasin serta incumbent Susilo Bambang Yudhoyono merupakan bukti otentik bahwa agensi militer tetap prominen di era demokrasi.

Sejak awal kelahirannya TNI tidak pernah mempersoalkan presiden dari kalangan sipil dan tidak mendesakkan tampilnya pimpinan nasional dari kalangan militer. Dalam sejarahnya Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan dalam membentuk sikap TNI yang mengakui pemerintahan di tangan sipil. Untuk itu dibuktikan oleh Panglima Besar Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari medan perjuangan bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di tangan presiden Soekarno. Virtue kesatrian tersebut juga menjadi kesadaran pimpinan TNI sekarang yang menentukan kebijakan bahwa TNI juga akan bersikap netral terhadap partai-partai politik dan calon presiden yang ada.

Jenderal Soedirman pernah bertentangan dengan langkah politik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda tentang Peristiwa 3 Juli 1946 dan dipandang sebagai upaya coup d’ ètat terhadap Soekarno-Hatta. Pembebasan Tan Malaka dari penjara Wirogunan merupakan dampak pergolakan internal para elite politik Indonesia pada awal kemerdekaan. Walaupun sempat berseberangan pandangan politik dengan pemerintah yang saat itu dikuasai kelompok Amir Sjarifuddin dan Sjahrir, Jenderal Soedirman tidak memanfaatkan posisi Panglima Besar yang strategis untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta (Ruslan Abdulgani). Jenderal Soedirman melakukan negosiasi tersebut untuk menyelamatkan keutuhan komando tentara saat itu. Fakta sejarah membuktikan bahwa Jenderal Soedirman tetap menjaga manunggalnya TNI dengan pemerintah. Ia mengorbankan hati nuraninya yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah untuk berkompromi dengan Belanda demi persatuan negara dan membayar beban psikologisnya dengan kesehatan yang kian hari semakin memburuk.

Militer dan Politik

Harus diakui, bahwa dalam sejarahnya beberapa pimpinan TNI pada waktu yang lain (seperti Jendral TNI A.H. Nasution) telah mendesain militer menjadi kekuatan yang mandiri dan tidak diam begitu saja terhadap soal-soal politik. Jadi, apa yang disebut peran ganda TNI sesungguhnya telah melekat sejak awal Indonesia berdiri. Namun, benar juga bahwa hal ini lalu membuat penafsiran terhadap batas-batas antara ranah politik dan perang, antara tugas-tugas sipil dan militer, makin tidak jelas. Antara perang dan politik ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Perang adalah jalan lain dari politik.

Patut dicermati, bahwa sejarah kemudian juga menurunkan makna tertentu bagi penafsirnya. Begitu juga dengan militer Indonesia di kemudian hari. TNI memang sangat terobsesi oleh sejarahnya sendiri, dan harus pula diakui bahwa TNI sekurang-kurangnya mampu menghayati sejarahnya itu dengan pemahaman atau penafsiran sendiri. TNI memahami dirinya dan Indonesia tidak lepas dari konstruksi awal kelahirannya yang sering dianggap ”khas”. Bahkan, sebuah pendapat lebih melihat kekhasan militer Indonesia karena “menciptakan dirinya sendiri”. Disebut menciptakan dirinya sendiri, karena militer Indonesia tidak diciptakan oleh suatu pemerintahan maupun oleh suatu partai politik. Pendek kata, TNI memahami dirinya sebagai militer yang memiliki “jatidiri” yang berbeda dengan militer di negara lain. Karena itu, peleburan batas antara fungsi kemiliteran dan kehidupan sehari-hari rakyat (ranah politik), dipahami TNI sebagai “sesuatu yang historis dan khas Indonesia”.

Memang bisa dipahami jika agenda reformasi Mei ‘98 menuntut TNI segera menarik diri dari berbagai posisi sipil sebelumnya. Mendesak TNI kembali ke fungsi dasarnya merupakan hal ideal untuk Indonesia ke depan, dan TNIpun mempertimbangkannya. Namun, ini bukan masalah yang sederhana. Sekurang-kurangnya untuk saat-saat ini seperti pemilihan Presiden. Di samping terkait dengan pemahaman dasar seperti diuraikan tadi, juga terkait dengan aspek sosio-psikologis anggota ataupun purnawirawan TNI yang selama ini menikmati “keistimewaan”. Tanpa perubahan yang subtantif terhadap citra dirinya, militer Indonesia akan tetap menjadi kekuatan yang mandiri, tak akan tenang hidup di barak, sehingga mudah tergoda oleh kekuasaan. Karena itu, yang paling logis untuk saat-saat ini adalah kemitraan sipil-militer dalam bentuk role and political sharing sebelum militer betul-betul bisa tenang di barak.

Respublica dan Resprivata

Karena itu tidak ada alasan historis bagi TNI untuk memihak salah satu partai seperti pada zaman Orde Baru. Demikian juga dasar kebijakan perubahan ABRI menjadi TNI dan Polisi. Diharapkan masing-masing (TNI dan Polisi) bisa bekerja lebih profesional. Mudah-mudahan perubahan demikian akan berlangsung terus, baik secara institusional maupun pemikiran. Satu hal yang perlu kita (baik militer maupun sipil) refleksikan bahwa militer Indonesia telah berkembang menjadi militer profesional.

Dunia kemiliteran telah berkembang menjadi dunia profesional, yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar “semangat patriotisme” tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan kependidikan. Tanggung jawabnya terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia, dengan demikian, bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Kalau dulu tanggung jawab ini ditafsirkan secara politis-ideologis, kini perlu dimaknai sebagai tanggung jawab profesional. Kalau dulu TNI di identifikasi dan dikenal sebagai tentara rakyat kini harus tampil sebagai militer profesional (TNI adalah tentara professional yang mengabdi kepada rakyat).

Biasanya orang menganggap bahwa militer terdiri dari “sekelompok atau beberapa kelompok orang bersenjata, terlatih, digaji dan diperintah oleh negara, dengan organisasi dan tugas yang tetap”, dan beranggapan bahwa pemerintah yang sah mengontrol semua cara-cara kekerasan (termasuk polisi, keamanan, patroli perbatasan dan kekuatan-kekuatan yang bersifat kemiliteran). Tetapi tidak semua militer berada dalam formasi militer dengan struktur modern yang setia kepada negara dan rantai komando, tetapi suatu kelompok dengan ikatan yang longgar -sering dipimpin seorang pribadi kharismatik di pusat – di ana seseorang dapat bergabung atau ke luar secara spontan. Sehingga loyalitas apapun namanya tidak sepenuhnya ditujukan kepada negara, tetapi lebih kepada ikatan-ikatan yang militer sendiri memahaminya sebagai bagian dari nilai yang mereka anggap sebagai rawatan atas ideologi dan keutamaan yang mereka miliki.

Negara yang sekaligus adalah wilayah bagi otoritas sipil, sebenarnya tidak cukup jika hanya melihat supremasi sipil sebagai minimalisasi intervensi militer dalam kehidupan politik sipil. Otoritas sipil harus mempunyai keunggulan di semua bidang politik, termasuk perumusan dan implementasi dari kebijakan pertahanan nasional. Karena kebijakan adalah jalan yang relevan dan mapan yang menjembatani antara produser ideologi, aktivitas negara, hasil dan akibatnya.

Demokrasi harus menempatkan militer di bawah otoritas sipil sekaligus memberikan ruang yang cukup bagi militer untuk menjalankan pertimbangan profesional dan kegiatan yang menjadi bidang mereka dalam batas-batas parameter kebijakan yang ditetapkan oleh sipil. Lebih jauh lagi, jika politisi dan calon presiden sipil ingin efektif dalam menguasai dan memelihara pengakuan militer atas supremasi sipil, maka hal ini juga akan melibatkan partisipasi substansial dari militer dalam anggaran, strategi dan keputusan kebijakan yang dilakukan sipil. Hal ini yang mendasari pelajaran kedua dan mungkin pelajaran yang paling penting dan utama bagi demokrasi, yaitu bahwa ekspansi peran militer dan kudeta militer merupakan proses yang dikendalikan secara politik; dengan cara yang sama, upaya meraih supremasi sipil juga harus dilakukan secara politik.

Dalam konteks republik-lah, demokrasi harus dipahami sebagai sebuah usaha untuk memisahkan pemerintah dan masyarakat dalam peran dan fungsinya juga memberikan pembatasan-pembatasan fungsi yang ditetapkan oleh hukum pada lembaga-lembaga pemerintah yang ada. Sehingga demokrasi mempunyai dua dimensi penting. Pertama, demokrasi merupakan prosedur atau fasilitas bagi terselenggaranya proses keterlibatan orang dalam pemerintahan. Di sini kadar demokrasi ditentukan oleh keterbukaan bagi partisipasi yang makin luas dan rasionalitas untuk menyerap partisipasi yang ada. Partisipasi yang dimaksud paling tidak mengandung dua hal, yakni: otonomi dan kebebasan yang membuka keterlibatan semua orang, serta otentisitas dari keterlibatan itu sendiri.

Kedua, karena fasilitas itu selalu terbuka dan meminta keikutsertaan semua orang secara langsung, maka di saat yang sama demokrasi selalu juga berarti ketidakmungkinan, karena tidak akan pernah ada supremasi politik yang benar-benar memungkinkan semua orang ikut secara langsung. Dengan demikian demokrasi yang semakin baik membutuhkan instrumen atau prosedur yang sengaja dibuat dan diarahkan untuk meningkatkan partisipasi dan otentisitas pilihan publik. Benar bahwa demokrasi memang menyediakan prosedur dan fasilitas, tetapi demokrasi tidak pernah menyediakan sistem etis dalam dirinya sendiri.

Disinilah kemudian politik atau respublica, berada pada jalur dimana segala macam orang secara umum akan berada pada kebersamaan. Juga di dalamnya adalah militer. Dapat dikatakan kondisi demikian berlaku diskursus baik bagi wacana (ucapan), maupun tindakan atau perbuatan. Dengan kata lain, disinilah kemudian rujukan atas civil society senantiasa dilakukan oleh aktor-aktor dalam suatu ruang, atau sphere, dengan tujuan untuk memperluas batas-batas ruang tersebut vis a vis negara. Dalam konteks Indonesia saat ini, dimana proses transisi ini akan menuju ke suatu keadaan yang lebih demokratis atau tidak! Bayang-bayang kegagahan dan ketegasan sosok militer masih menjadi takhayul di tengah pembangunan politik sipil yang berbasis virtue dan etik. Tetapi agar lebih jelas, apa pun yang menjadi hasilnya justru sangat tergantung pada kuat/lemahnya lembaga-lembaga demokratis sendiri. Dengan kata lain, jikalau figur atau calon presiden militer senantiasa masih mau menjadi yang terdepan dalam pertaruhan 2009 maka virtue Panglima Besar Jenderal Soedirman tidak sekokoh patung dan monumennya berdiri dan memayung para kesatria.

22 Desember 2008

Tinggalkan Balasan